Monday, July 21, 2008

Hemat Energi yang Terlupakan - Kamis, 20 Oktober 2005

Hemat Energi yang Terlupakan - Kamis, 20 Oktober 2005

Kamis, 20 Oktober 2005

Hemat Energi yang Terlupakan

Eddy Satriya

Hari-hari ini adalah hari-hari krisis energi, terutama bahan bakar minyak. Sungguh beruntung bangsa Indonesia karena krisis itu akhirnya menyengat, mengingatkan semua pihak bahwa selama ini kita telah melupakan energi sebagai salah satu barang ekonomi yang amat berharga.

Arti penting energi dalam kehidupan sebenarnya sudah lama dipahami dan terus diingatkan oleh banyak orang. Salah satunya adalah Jeremy Rifkin (2002) dalam bukunya The Hydrogen Economy mengungkapkan bahwa societies collapse when energy flow is suddenly impeded. Begitu pula Lutz Kleveman (2003) yang dalam buku The New Great Game. Blood and Oil in Central Asia, kembali mengingatkan betapa politik ekonomi tidak dapat dipisahkan dari sumber energi, terutama minyak dan gas (migas). Saking pentingya, untuk menguasai sumber energi jika perlu nyawa orang lain pun dikorbankan.

Namun, mayoritas penduduk Indonesia memang tergolong pelupa dan terlalu lama terlena. Sekarang, seperti orang yang terbangun dari mimpi panjang, semua sontak bicara tentang pentingnya hemat energi.

Seperti diketahui, kegagalan Pertamina memasok BBM ke pelosok negeri serta berbagai masalah terkait telah memaksa pemerintah menyerah. Tidak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya, Jusuf Kalla , akhirnya memohon dan mengimbau agar masyarakat bisa melakukan penghematan energi, terutama BBM, dalam menjalankan berbagai aktivitas ekonomi mereka (Kompas, 23/6/2005). Memang penghematan menjadi salah satu alternatif yang paling mungkin dilakukan saat ini mengingat proses peningkatan produksi membutuhkan waktu. Terbukti, meski telah lebih dari dua tahun pascaterbentuknya BP Migas yang mengurus masalah hulu industri migas, tingkat produksi minyak nasional masih belum beranjak jauh dari angka 1 juta barrel per hari.

Boros energi

Kita memang tergolong bangsa yang boros dalam penggunaan energi. Intensitas Energi indikator yang mengaitkan tingkat penggunaan energi dengan peningkatan GDP suatu negara Indonesia memang tergolong masih besar. Meski bukan merupakan indikator yang paling sahih, karena bias populasi Indonesia yang tinggi, intensitas energi Indonesia tergolong buruk dibandingkan dengan sebagian besar negara ASEAN lainnya. Apalagi jika dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS).

Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan suplai energi dalam kehidupan kadang memang terlupakan. Kita menyaksikan dan merasakan betapa pendingin udara (AC) di beberapa gedung di Jakarta memang jarang disesuaikan dengan standar kesehatan manusia. Tingkat dinginnya sering memaksa orang harus menyesuaikan pakaian, persis di negeri empat musim yang sedang dilanda musim dingin. Hotel-hotel besar dan pusat perbelanjaan menjadi serba tertutup dan masif sehingga pencahayaannya lebih mengandalkan cahaya lampu daripada tata cahaya alami. Sopir-sopir pun banyak yang menghidupkan AC jika menunggu majikannya. Singkat kata dari berbagai strata, kita memang boros energi.

Selain pelupa dan abai, kita juga tergolong pemalas. Dalam memasak nasi, misalnya, sekarang orang lebih mengandalkan magic jar. Entah bagaimana ceritanya, rakyat bangsa ini telah dengan sadar mengimpor dan menggunakan berjuta-juta magic jar untuk menopang gaya hidup malasnya. Pernah saya ulas dalam Fenomena Magic Jar betapa setiap hari rata-rata penduduk Indonesia diperkirakan mengonsumsi tidak kurang 12 giga watt hour (GWh) daya listrik hanya untuk memanaskan nasi (Trust, 30/5/2005).

Sering kali magic jar itu dibiarkan hidup 24 jam dalam sehari hanya untuk memanaskan sekepal nasi hingga menguning dan kering. Sementara itu, di Filipina, Thailand, dan beberapa negara ASEAN lainnya, penduduknya masih tetap menggunakan rice cooker yang hanya dihidupkan seperlunya.

Menyadari ancaman krisis energi, cerita ini pernah saya utarakan pada bulan April 2005 lalu dalam suatu diskusi terbatas di hadapan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. Beliau terlihat prihatin dan menambahkan pula dengan cerita betapa banyak hotel di Pulau Bali yang tidak mengatur suhu minimal kamar. Alhasil, sering kali AC dihidupkan di bawah 18 derajat Celsius karena para tamu tidak mau terlalu kepanasan ketika menikmati cuaca Bali. Mereka tetap menghidupkan AC, lalu membuka pintu kamar lebar-lebar sembari menikmati hangatnya pantai Bali.

Sayangnya, usulan untuk membuat paket khusus hemat energi yang terpisah dari kebijakan konservasi energi secara nasional pada waktu itu tidak terlalu dianggap sebagai suatu langkah serius dan mendesak oleh peserta diskusi lain.

Perlu sosialisasi kontinu

Sekarang rakyat harus siap-siap dengan kondisi yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Jika pemadaman bergiliran sudah menjadi suatu hal yang biasa, mulai minggu ini besar kemungkinan akan banyak kejutan. Imbauan hemat energi yang pernah dikeluarkan Yudhoyono dan Kalla besar kemungkinan akan berubah menjadi suatu instruksi atau aturan baru yang bisa saja berujung kepada suatu sanksi.

Diterbitkannya Inpres No 10/2005 tentang Hemat Energi kenyataannya telah dikaitkan dengan sanksi kepegawaian, antara lain bisa berupa penurunan pangkat bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak mendukung gerakan hemat energi.

Sungguh sulit membayangkan bagaimana menentukan kriteria hemat energi dan terlebih menjalankannya dengan benar agar bisa membedakan pegawai yang mendukung dengan yang menghambat gerakan hemat energi.

Masyarakat, termasuk seluruh elite pimpinan, memang seyogianya mengubah cara pandang dan tata cara penggunaan energi agar lebih hemat dan efisien. Namun, sangat diharapkan para pemimpin juga mampu memberikan suri teladan, selain aturan yang masuk akal dan tidak kontraproduktif. Aturan tersebut tentu saja tidak membebani dan menambah panik masyarakat, termasuk PNS, yang justru sudah dalam kondisi sangat sulit.

Kesemuanya itu hanya dapat dicapai jika melakukan langkah sosialisasi yang kontinu dan melaksanakan kampanye hemat energi terprogram seperti yang dulu pernah sukses, namun kemudian terlupakan. Semoga sengatan krisis energi bisa mendorong kita semua berpikir kritis dan bertindak hemat, bukan sebaliknya menggiring kepada krisis menalar dan memimpin.

Eddy Satriya Senior Infrastructure Economist; Berkerja di Bappenas; Tulisan Ini Pendapat Pribadi

No comments: