Rabu, 24/06/2008 | 18:22 WIB

Investasi
Sulit bagi asing untuk bisa berinvestasi di Indonesia kecuali mereka bersedia berurusan dengan Bakrie, Bukaka, dan Bosowa.
oleh Teguh Nugroho
BIROKRASI negara saat ini masih menganut paham “Mengurus negara sambil mengurus diri sendiri.” Dengan birokrasi semacam itu, maka sulit bagi asing untuk bisa berinvestasi di Indonesia kecuali mereka hanya menjadi pedagang atau calo. Contoh investor calo adalah saat Mittal "dipaksa" menawar PT Krakatau Steel. Demikian dikatakan oleh ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, dalam diskusi “Kepastian Investasi dan Keselarasan Regulasi Pemerintah” hari ini di Jakarta.
Faisal menyebut Bakrie, Bukaka, Bosowa atau disingkat 3B sebagai birokrasi yang “Mengurus negara sambil mengurus diri sendiri” itu. Hampir seluruh hal dalam sektor telekomunikasi, menurut Faisal ada campur tangan dari tiga pihak itu. Ssemua produk sektor telekomunikasi apapun bentuknya yang beredar di Indonesia harus lewat salah satu dari B3. Kalau tidak, investor tidak akan bisa bertahan karena tiga pihak itu juga sangat dominan di hampir semua sektor. “Pedagang Glodok paling untung satu atau dua rupiah saja, yang untung besar mereka-mereka ini” kata Faisal.
Untuk mengatasi hal tersebut, Faisal menyarankan agar pemerintah melakukan beberapa hal. Pertama harus membenahi insentif infrastruktur. Tujuannya agar investor asing dapat menambah kapasitas. Kalau tidak menurut Faisal, maka investor yang datang ke Indonesia hanya semacam pedagang atau kalau pun ada yang datang mereka tak lebih dari sekedar calo. Contoh hal ini, kata Faisal terlihat pada kasus privatisasi Krakatau Steel. Kedua, mengurangi hambatan birokrasi.
Pabrik bukan Jasa
Faisal juga menjelaskan, idealnya penggerak pertumbuhan ekonomoni sebuah negara berkembang seperti Indonesia berasal dari investasi. Namun yang terjadi di Indonesia, ekonomi justru digerakkan oleh sektor konsumsi yang semakin terkendali.
Menurut Faisal investasi memang terus naik dari tahun ke tahun tapi investasi tersebut semakin salah arah. Salah satu penyebabnya karena hajat hidup orang banyak tak serta merta ikut naik seiring dengan naiknya invetasi tersebut. Menurutnya kenaikan investasi tidak berimbas kepada penciptaan lapangan kerja, karena sebenarnya tidak ada investasi yang benar-benar, yang terjadi menurutnya, sebatas mengambil alih bidang produksi yang sudah ada.
Faisal karena itu mempertanyakan kualitas dari kenaikan investasi tersebut, khususnya investasi asing yang datang ke Indonesia. Menurut Faisal, investasi asing yang masuk ke Indonesia itu polanya sudah bergeser, yakni semakin menjauhi pabrik tetapi malah menyemut di sektor jasa atau malah sekedar mengambil alih yang sudah ada. “Dari pada membangun pabrik di Indonesia mereka akan lebih untung membangun pabrik di China karena disana insentifnya lebih jelas,” kata Faisal.
Menara BTS
Selain Faisal, tampil sebagai pembicara adalah Eddy Satriya Asisten Deputy Telematika dan Utilitas Menko Perekonomian. Eddy mengatakan pihaknya masih optimistis, dengan investasi di sektor telekomunikasi meskipun ada beberapa kasus seperti menara BTS bersama yang berpotensi untuk menimbulkan keraguan investor asing. “Sampai lima tahun mendatang kondisi ini masih sangat menarik bagi investor” kata Eddy.
Tentang pelarangan asing dalam bisnis menara BTS, menurut Eddy pihaknya tetap menginginkan bisnis itu terbuka atau asing tetap boleh memasuki sektor ini. “Rencananya akan keluar SKB tiga menteri yang akan mengatur masalah tersebut, tapi tampaknya SKB empat menteri itu nafasnya menginginan asing tetap tertutup” ujar Eddy.
Diakui oleh Eddy saat ini memang ada beberapa problem dalam berkoordinasi antar instansi pemerintah. Hal itu antara lain disebabkan oleh ego sektoral, rent seeking, perilaku para pelaku pasar, ketidakprofesionalan, kegagalan dalam berkomunikasi, dan kurangnya sosialisasi dari regulasi (seperti halnya yang terjadi dengan kasus peraturan menara bersama). Hal itu terjadi dalam soal bisnis menara BTS.
Eddy tidak mengesampingkan, bahwa niat dari Menkominfo yang mengeluarkan Permen No. 02/2008 dan melarang asing dalam bisnis menara, memang bertujuanbagus, yaitu untuk memberdayakan pengusaha dalam negeri. Sayangnya Depkominfo tidak berkoordinasi sebelumnya dengan departemen terkait. Ini adalah contoh dari ego sektoral. Depkominfo seharusnya datang ke Menko Perekonomian dan berdiskusi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan peraturan pelarangan asing.
"Cara mereka menyelesaikan dalam sebuah talkshow (Diskusi Menara Bersama Tempo, April 2008-Red) memang mengecewakan. Dari acara itu terbitlah keinginan untuk membuat SKB. Padahal, prosedur untuk permasalahan ini ada; bukannya melalui talkshow. Mereka tidak melibatkan Menko dan PEPI dalam hal ini," kata Eddy.
Menurut Eddy, apapun motif di balik PerMen No. 02/2008, Ditjen Postel telah mengambil keputusan yang tidak melalui prosedur yang benar. Ditjen sebaliknya malah melakukan konsolidasi dengan BKPM di suatu forum talk show. "Hal ini amat disesalkan. Padahal ada langkah-langkah prosedural yang bisa diambil untuk hal ini," kata Eddy.
Eddy mengakui, belakangan ini Ditjen Postel sudah lebih berinisiatif antara lain dengan mengundang pihak Menko Perekonomian untuk datang dan berbicara soal SKB. Namun dalam soal menara BTS, Menko Perekonomian karena itu masih tetap pada sikap semula yaitu meminta revisi soal menara bersama karena sesuai dengan Perpres 111/2007 tentang Daftar Negatif Investasi, sektor menara tidk termasuk di dalamnya. Pelarangan investasi asing menurut Eddy dikhawatrkan menimbulkan dugaan bahwa ada sesuatu di balik keluarnya PerMen .
Keterangan Gambar: Faisal Basri-Teguh Nugroho/JAKARTAPRESS.COM
No comments:
Post a Comment