Monday, July 21, 2008

Hemat Energi yang Terlupakan - Kamis, 20 Oktober 2005

Hemat Energi yang Terlupakan - Kamis, 20 Oktober 2005

Kamis, 20 Oktober 2005

Hemat Energi yang Terlupakan

Eddy Satriya

Hari-hari ini adalah hari-hari krisis energi, terutama bahan bakar minyak. Sungguh beruntung bangsa Indonesia karena krisis itu akhirnya menyengat, mengingatkan semua pihak bahwa selama ini kita telah melupakan energi sebagai salah satu barang ekonomi yang amat berharga.

Arti penting energi dalam kehidupan sebenarnya sudah lama dipahami dan terus diingatkan oleh banyak orang. Salah satunya adalah Jeremy Rifkin (2002) dalam bukunya The Hydrogen Economy mengungkapkan bahwa societies collapse when energy flow is suddenly impeded. Begitu pula Lutz Kleveman (2003) yang dalam buku The New Great Game. Blood and Oil in Central Asia, kembali mengingatkan betapa politik ekonomi tidak dapat dipisahkan dari sumber energi, terutama minyak dan gas (migas). Saking pentingya, untuk menguasai sumber energi jika perlu nyawa orang lain pun dikorbankan.

Namun, mayoritas penduduk Indonesia memang tergolong pelupa dan terlalu lama terlena. Sekarang, seperti orang yang terbangun dari mimpi panjang, semua sontak bicara tentang pentingnya hemat energi.

Seperti diketahui, kegagalan Pertamina memasok BBM ke pelosok negeri serta berbagai masalah terkait telah memaksa pemerintah menyerah. Tidak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya, Jusuf Kalla , akhirnya memohon dan mengimbau agar masyarakat bisa melakukan penghematan energi, terutama BBM, dalam menjalankan berbagai aktivitas ekonomi mereka (Kompas, 23/6/2005). Memang penghematan menjadi salah satu alternatif yang paling mungkin dilakukan saat ini mengingat proses peningkatan produksi membutuhkan waktu. Terbukti, meski telah lebih dari dua tahun pascaterbentuknya BP Migas yang mengurus masalah hulu industri migas, tingkat produksi minyak nasional masih belum beranjak jauh dari angka 1 juta barrel per hari.

Boros energi

Kita memang tergolong bangsa yang boros dalam penggunaan energi. Intensitas Energi indikator yang mengaitkan tingkat penggunaan energi dengan peningkatan GDP suatu negara Indonesia memang tergolong masih besar. Meski bukan merupakan indikator yang paling sahih, karena bias populasi Indonesia yang tinggi, intensitas energi Indonesia tergolong buruk dibandingkan dengan sebagian besar negara ASEAN lainnya. Apalagi jika dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS).

Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan suplai energi dalam kehidupan kadang memang terlupakan. Kita menyaksikan dan merasakan betapa pendingin udara (AC) di beberapa gedung di Jakarta memang jarang disesuaikan dengan standar kesehatan manusia. Tingkat dinginnya sering memaksa orang harus menyesuaikan pakaian, persis di negeri empat musim yang sedang dilanda musim dingin. Hotel-hotel besar dan pusat perbelanjaan menjadi serba tertutup dan masif sehingga pencahayaannya lebih mengandalkan cahaya lampu daripada tata cahaya alami. Sopir-sopir pun banyak yang menghidupkan AC jika menunggu majikannya. Singkat kata dari berbagai strata, kita memang boros energi.

Selain pelupa dan abai, kita juga tergolong pemalas. Dalam memasak nasi, misalnya, sekarang orang lebih mengandalkan magic jar. Entah bagaimana ceritanya, rakyat bangsa ini telah dengan sadar mengimpor dan menggunakan berjuta-juta magic jar untuk menopang gaya hidup malasnya. Pernah saya ulas dalam Fenomena Magic Jar betapa setiap hari rata-rata penduduk Indonesia diperkirakan mengonsumsi tidak kurang 12 giga watt hour (GWh) daya listrik hanya untuk memanaskan nasi (Trust, 30/5/2005).

Sering kali magic jar itu dibiarkan hidup 24 jam dalam sehari hanya untuk memanaskan sekepal nasi hingga menguning dan kering. Sementara itu, di Filipina, Thailand, dan beberapa negara ASEAN lainnya, penduduknya masih tetap menggunakan rice cooker yang hanya dihidupkan seperlunya.

Menyadari ancaman krisis energi, cerita ini pernah saya utarakan pada bulan April 2005 lalu dalam suatu diskusi terbatas di hadapan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. Beliau terlihat prihatin dan menambahkan pula dengan cerita betapa banyak hotel di Pulau Bali yang tidak mengatur suhu minimal kamar. Alhasil, sering kali AC dihidupkan di bawah 18 derajat Celsius karena para tamu tidak mau terlalu kepanasan ketika menikmati cuaca Bali. Mereka tetap menghidupkan AC, lalu membuka pintu kamar lebar-lebar sembari menikmati hangatnya pantai Bali.

Sayangnya, usulan untuk membuat paket khusus hemat energi yang terpisah dari kebijakan konservasi energi secara nasional pada waktu itu tidak terlalu dianggap sebagai suatu langkah serius dan mendesak oleh peserta diskusi lain.

Perlu sosialisasi kontinu

Sekarang rakyat harus siap-siap dengan kondisi yang mungkin tidak pernah terbayangkan. Jika pemadaman bergiliran sudah menjadi suatu hal yang biasa, mulai minggu ini besar kemungkinan akan banyak kejutan. Imbauan hemat energi yang pernah dikeluarkan Yudhoyono dan Kalla besar kemungkinan akan berubah menjadi suatu instruksi atau aturan baru yang bisa saja berujung kepada suatu sanksi.

Diterbitkannya Inpres No 10/2005 tentang Hemat Energi kenyataannya telah dikaitkan dengan sanksi kepegawaian, antara lain bisa berupa penurunan pangkat bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak mendukung gerakan hemat energi.

Sungguh sulit membayangkan bagaimana menentukan kriteria hemat energi dan terlebih menjalankannya dengan benar agar bisa membedakan pegawai yang mendukung dengan yang menghambat gerakan hemat energi.

Masyarakat, termasuk seluruh elite pimpinan, memang seyogianya mengubah cara pandang dan tata cara penggunaan energi agar lebih hemat dan efisien. Namun, sangat diharapkan para pemimpin juga mampu memberikan suri teladan, selain aturan yang masuk akal dan tidak kontraproduktif. Aturan tersebut tentu saja tidak membebani dan menambah panik masyarakat, termasuk PNS, yang justru sudah dalam kondisi sangat sulit.

Kesemuanya itu hanya dapat dicapai jika melakukan langkah sosialisasi yang kontinu dan melaksanakan kampanye hemat energi terprogram seperti yang dulu pernah sukses, namun kemudian terlupakan. Semoga sengatan krisis energi bisa mendorong kita semua berpikir kritis dan bertindak hemat, bukan sebaliknya menggiring kepada krisis menalar dan memimpin.

Eddy Satriya Senior Infrastructure Economist; Berkerja di Bappenas; Tulisan Ini Pendapat Pribadi

Jakartapress.com - News: Surat Boediono Tersangkut di Menara BTS

Jakartapress.com - News: Surat Boediono Tersangkut di Menara BTS

Surat Boediono Tersangkut di Menara BTS
lokasi: Home / Berita / Nasional / [sumber: Jakartapress.com]
Sabtu, 23/05/2008 | 12:39 WIB
Menko Perekonomian pernah berkirim surat kepada Menkominfo untuk merevisi Permen Kominfo tentang menara BTS.

Oleh Dwi Apreni
BOEDIONO MULAI HARI INI AKAN RESMI BERKANTOR DI GEDUNG BANK Indonesia, di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Dia telah resmi menjadi orang nomor satu di bank sentral setelah kemarin dilantik oleh Presiden SBY dan lalu melakukan serah terima jabatan dengan pejabat lama, Burhanuddin Abdullah yang kini menjadi pesakitan. Di luar rumor soal pengganti Boediono sebagai Menko Perekonomian, “perginya” Boediono dari Kabinet Indonesia Bersatu akan tetapi masih menyisakan banyak PR.

Salah satunya adalah penolakan Boediono terhadap keputusan Menteri Kominfo M. Nuh menyangkut soal bisnis menara BTS. Melalui Peraturan Menteri No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008, M. Nuh melarang asing masuk ke bisnis menara BTS. Peraturan yang berlaku sejak 17 Maret 2008 itu, menurutnya dimaksudkan untuk memberdayakan perusahaan-perusahaan nasional. Keputusan Pak Menteri Nuh tentu saja menimbulkan reaksi keras, tidak saja dari investor asing yang telanjur mengikuti tender pembangunan BTS tapi juga dari rekan sejawatnya, sesama menteri termasuk Boediono. Persoalannya satu bisnis menara BTS bukanlah termasuk dalam Daftar Negatif Investasi yang terlarang bagi investor asing.

Menyusul keluarnya peraturan itu, Boediono sebagai Ketua Harian Timnas Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi lantas berkirim surat kepada M. Nuh pada 28 April 2008. Melalui surat No S-46/M.EKON/ 04/2008, Boediono meminta M. Nuh untuk meninjau kembali keputusannya dan meminta untuk menyesuaikannya dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal daan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka di Bidang Penanaman Modal.

Sebelum mengeluarkan peraturan, pada 14 Februari 2008, M. Nuh pernah mengirimkan surat kepada Menko Perekonomian dengan tembusan ke Timnas PEPI dan BKPM untuk mengusulkan perubahan Perpres DNI. M. Nuh meminta untuk memasukkan sektor pembangunan menara telekomunikasi ke dalam revisi Perpres DNI yang akan datang. Namun belum lagi disetujui, M. Nuh lantas mengeluarkan peraturan yang melarang asing berbisnis di menara BTS pada 17 Maret 2008.

Sehari setelah keluarnya peraturan itu, PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), meneken surat perjanjian untuk divestasi menara Hutchison Telecommunication International (Hutch). Protelindo memenangkan tender Hutch untuk 3.692 menara. Kesepakatan antara Hutch dengan Protelindo itulah yang lalu dianggap melanggar peraturan Pak Menteri, meskipun berlakunya Permen Kominfo juga belum disosialisasikan hingga hari itu.

Keputusan M. Nuh yang melarang asing memang telah memicu kontroversial. Bukan saja banyak investor asing yang mempertanyakan keputusan tersebut, namun keputusan itu juga mendapat perhatian khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mengutip keterangan Menteri Perdagangan Mari E Pangestu, keputusan M. Nuh bahkan dibahas di dalam sidang kabinet. Mari sayangnya hingga sekarang belum menjelaskan apa hasil dari sidang kabinet menyangkut keputusan M.Nuh itu.
“Di luar” ada tender pelepasan menara BTS milik Exelcomindo, yang kabarnya sudah berlangsung sejak awal Februari silam. Tender antara lain mensyaratkan keharusan dari peserta tender untuk memiliki scroll account sebesar US$ 300 juta. Tujuannya untuk jaminan yang memastikan kelangsungan bisnis menara BTS Exelcomindo, antara lain dalam hal keamanan jika misalnya kemudian keberadaan menara BTS itu diprotes oleh warga.

Karena persyaratan itulah, daftar peserta tender pengelolaan menara BTS Exelcomindo, kabarnya hanya menjaring 10 perusahaan, yang sebagian besar ternyata adalah asing. Sebelumnya jumlah peserta tender yang ikut mendaftar mencapai 77 perusahaan yang berasal dari dalam dan luar luar negeri. Kabarnya, Goldman Sachs ditunjuk untuk menyeleksi peserta tender lantas merekomendasikan 33 perusahaan terpilih dan akhirnya hanya tinggal 10 perusahaan yang di dalamnya ada Protelindo, Gulf Tower, dan Tricom.

Bersamaan dengan masuknya 10 perusahaan dalam tender menara BTS milik Exelomindo itulah, lalu keluar Peraturan Menteri dari Pak Nuh. Kasak-kusuk bahwa keputusan itu dipengaruhi oleh sejumlah perusahaan domestik yang tersingkir dalam tender menara BTS Exlecomindo lantas meruap ke ruang-ruang cafĂ©, meja kantor, dan menjadi diskusi di kalangan pebisnis menara BTS dan beberapa kalangan telekomunikasi. Wakil Kepala BKPM Yus’an secara tidak langsung bahkan menduga ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan pemerintah untuk kepentingan bisnis mereka dalam konteks bisnis menara BTS.

Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Kaminov Sagala mengatakan, sebetulnya tidak ada masalah dengan Permen Kominfo. Sebelum keluar peraturan itu, pemilik saham BTS didominasi oleh asing. Kata Kaminov, tujuan peraturan itu adalah pertama untuk membuka ruang kepada pelaku-pelaku bisnis di dalam negeri. Kedua, BTS bagian dari infrastruktur. Jika bisnis ini dimiliki atau dikuasai asing maka ketika hendak dibeli kembali, harganya akan mahal. “Sebetulnya soal infrastruktur tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh investor asing,” kata Kaminov.

Hingga kini nasib dari surat Boediono kepada Pak M. Nuh belum jelas karena Menkominfo belum memberikan jawaban tapi Boediono sudah telanjur berkantor di Gedung BI. Namun menurut M. Nuh kepada Koran Jakarta, "Permen tidak akan direvisi kecuali hanya akan ada harmonisasi melalui surat keputusan bersama yang melibatkan departemen-departemen terkait."

Jakartapress.com - News: Birokrasi 3B Hambat Investor Asing

Jakartapress.com - News: Birokrasi 3B Hambat Investor Asing

Birokrasi 3B Hambat Investor Asing
lokasi: Home / Berita / Bisnis / [sumber: Jakartapress.com]
Rabu, 24/06/2008 | 18:22 WIB
Birokrasi 3B Hambat Investor Asing

Investasi

Sulit bagi asing untuk bisa berinvestasi di Indonesia kecuali mereka bersedia berurusan dengan Bakrie, Bukaka, dan Bosowa.

oleh Teguh Nugroho
BIROKRASI negara saat ini masih menganut paham “Mengurus negara sambil mengurus diri sendiri.” Dengan birokrasi semacam itu, maka sulit bagi asing untuk bisa berinvestasi di Indonesia kecuali mereka hanya menjadi pedagang atau calo. Contoh investor calo adalah saat Mittal "dipaksa" menawar PT Krakatau Steel. Demikian dikatakan oleh ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, dalam diskusi “Kepastian Investasi dan Keselarasan Regulasi Pemerintah” hari ini di Jakarta.

Faisal menyebut Bakrie, Bukaka, Bosowa atau disingkat 3B sebagai birokrasi yang “Mengurus negara sambil mengurus diri sendiri” itu. Hampir seluruh hal dalam sektor telekomunikasi, menurut Faisal ada campur tangan dari tiga pihak itu. Ssemua produk sektor telekomunikasi apapun bentuknya yang beredar di Indonesia harus lewat salah satu dari B3. Kalau tidak, investor tidak akan bisa bertahan karena tiga pihak itu juga sangat dominan di hampir semua sektor. “Pedagang Glodok paling untung satu atau dua rupiah saja, yang untung besar mereka-mereka ini” kata Faisal.

Untuk mengatasi hal tersebut, Faisal menyarankan agar pemerintah melakukan beberapa hal. Pertama harus membenahi insentif infrastruktur. Tujuannya agar investor asing dapat menambah kapasitas. Kalau tidak menurut Faisal, maka investor yang datang ke Indonesia hanya semacam pedagang atau kalau pun ada yang datang mereka tak lebih dari sekedar calo. Contoh hal ini, kata Faisal terlihat pada kasus privatisasi Krakatau Steel. Kedua, mengurangi hambatan birokrasi.

Pabrik bukan Jasa
Faisal juga menjelaskan, idealnya penggerak pertumbuhan ekonomoni sebuah negara berkembang seperti Indonesia berasal dari investasi. Namun yang terjadi di Indonesia, ekonomi justru digerakkan oleh sektor konsumsi yang semakin terkendali.

Menurut Faisal investasi memang terus naik dari tahun ke tahun tapi investasi tersebut semakin salah arah. Salah satu penyebabnya karena hajat hidup orang banyak tak serta merta ikut naik seiring dengan naiknya invetasi tersebut. Menurutnya kenaikan investasi tidak berimbas kepada penciptaan lapangan kerja, karena sebenarnya tidak ada investasi yang benar-benar, yang terjadi menurutnya, sebatas mengambil alih bidang produksi yang sudah ada.

Faisal karena itu mempertanyakan kualitas dari kenaikan investasi tersebut, khususnya investasi asing yang datang ke Indonesia. Menurut Faisal, investasi asing yang masuk ke Indonesia itu polanya sudah bergeser, yakni semakin menjauhi pabrik tetapi malah menyemut di sektor jasa atau malah sekedar mengambil alih yang sudah ada. “Dari pada membangun pabrik di Indonesia mereka akan lebih untung membangun pabrik di China karena disana insentifnya lebih jelas,” kata Faisal.

Menara BTS
Selain Faisal, tampil sebagai pembicara adalah Eddy Satriya Asisten Deputy Telematika dan Utilitas Menko Perekonomian. Eddy mengatakan pihaknya masih optimistis, dengan investasi di sektor telekomunikasi meskipun ada beberapa kasus seperti menara BTS bersama yang berpotensi untuk menimbulkan keraguan investor asing. “Sampai lima tahun mendatang kondisi ini masih sangat menarik bagi investor” kata Eddy.

Tentang pelarangan asing dalam bisnis menara BTS, menurut Eddy pihaknya tetap menginginkan bisnis itu terbuka atau asing tetap boleh memasuki sektor ini. “Rencananya akan keluar SKB tiga menteri yang akan mengatur masalah tersebut, tapi tampaknya SKB empat menteri itu nafasnya menginginan asing tetap tertutup” ujar Eddy.

Diakui oleh Eddy saat ini memang ada beberapa problem dalam berkoordinasi antar instansi pemerintah. Hal itu antara lain disebabkan oleh ego sektoral, rent seeking, perilaku para pelaku pasar, ketidakprofesionalan, kegagalan dalam berkomunikasi, dan kurangnya sosialisasi dari regulasi (seperti halnya yang terjadi dengan kasus peraturan menara bersama). Hal itu terjadi dalam soal bisnis menara BTS.

Eddy tidak mengesampingkan, bahwa niat dari Menkominfo yang mengeluarkan Permen No. 02/2008 dan melarang asing dalam bisnis menara, memang bertujuanbagus, yaitu untuk memberdayakan pengusaha dalam negeri. Sayangnya Depkominfo tidak berkoordinasi sebelumnya dengan departemen terkait. Ini adalah contoh dari ego sektoral. Depkominfo seharusnya datang ke Menko Perekonomian dan berdiskusi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan peraturan pelarangan asing.

"Cara mereka menyelesaikan dalam sebuah talkshow (Diskusi Menara Bersama Tempo, April 2008-Red) memang mengecewakan. Dari acara itu terbitlah keinginan untuk membuat SKB. Padahal, prosedur untuk permasalahan ini ada; bukannya melalui talkshow. Mereka tidak melibatkan Menko dan PEPI dalam hal ini," kata Eddy.

Menurut Eddy, apapun motif di balik PerMen No. 02/2008, Ditjen Postel telah mengambil keputusan yang tidak melalui prosedur yang benar. Ditjen sebaliknya malah melakukan konsolidasi dengan BKPM di suatu forum talk show. "Hal ini amat disesalkan. Padahal ada langkah-langkah prosedural yang bisa diambil untuk hal ini," kata Eddy.

Eddy mengakui, belakangan ini Ditjen Postel sudah lebih berinisiatif antara lain dengan mengundang pihak Menko Perekonomian untuk datang dan berbicara soal SKB. Namun dalam soal menara BTS, Menko Perekonomian karena itu masih tetap pada sikap semula yaitu meminta revisi soal menara bersama karena sesuai dengan Perpres 111/2007 tentang Daftar Negatif Investasi, sektor menara tidk termasuk di dalamnya. Pelarangan investasi asing menurut Eddy dikhawatrkan menimbulkan dugaan bahwa ada sesuatu di balik keluarnya PerMen .

Keterangan Gambar: Faisal Basri-Teguh Nugroho/JAKARTAPRESS.COM

Thursday, June 26, 2008

Jurnal Nasional

Jurnal Nasional

Ekonomi - Keuangan - Bisnis
Jakarta | Rabu, 25 Jun 2008
Permen Menara Bersama Tak Hambat Investasi
by : Luther Sembiring

Terbitnya Permen No.2/2008 perihal Pedoman Pembangunan Menara Bersama Telekomonukasi yang melarang investasi asing mengelola menara dinilai tidak akan menghambat investasi. Investor luar negeri dinilai masih optimistis dengan iklim invetasi di sektor telekomunikasi.

Asisten Deputi Bidang Telematika dan Utilitas Kantor Menteri Perekonomian Eddy Satriya, menyatakan hal itu saat diskusi bertajuk, Kepastian Inestasi dan Keselarasan Regulasi Pemerintah yang digelar Jurnal Nasional, Selasa (24/6). ''Saya pikir itu belum menjadi hambatan untuk di TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi),'' katanya.

Menurut dia, meskipun ada persoalan di sektor telekomunikasi seperti, adanya ketentuan pembangunan menara telekomunikasi bersama tidak akan mempengaruhi investasi asing. Sementara soal Temasek, katanya sudah ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KKPU).

Dia mengatakan sektor telekomunikasi di Indonesia masih positif paling tidak dalam lima tahun mendatang. Pemerintah, katanya, akan segera memutuskan sikap perihal investasi asing dalam pembangunan menara bersama.

Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) melarang investasi asing masuk dalam pembangunan menara bersama mengacu Permen No.2/PER/M.Kominfo/3/2008. Dalam pasal 5 disebutkan, bidang usaha jasa konstruksi pembangunan menara bersama sebagai bentuk bangunan dengan fungsi khusus merupakan bidang tertutup untuk penanaman modal asing.

Penyedia menara, pengelola menara atau kontraktor menara yang bergerak dalam jasa telekokunikasi kepemilikan saham dimiliki pelaku usaha dalam negeri. Penyelenggara telekomunikasi yang membangun menara oleh pihak ketiga harus menjamin kepemilikan saham oleh pelaku dalam negeri.

Regulasi tersebut dinilai bertentangan dengan Perpres No. 111/2007 perihal Daftar Negatif Investasi (DNI) revisi terhadap Perpres No.77/2007. Dalam Perpres ini, perusahaan telekomunikasi tetap terjamin bagi penanaman modal asing.

Eddy mengatakan Kementerian Perekonomian telah menyurati Depkominfo agar investasi asing terbuka di sektor menara bersama. ''Pada dasarnya dari Kemenkop minta itu agar terbuka, dan ini nafasnya dari SKB investasi di sektor itu tetap tertutup. Tapi saya tidak pada status mengomentari.''

Pemerintah, katanya, pada prinsipnya menginginkan persoalan menara bersama ini diselesaikan. Kondisi yang berlaku saat ini tetap terbuka karena posisinya itu tidak tertutup bagi investor asing.

Dosen FE UI Faisal Basri mengatakan seharusnya tidak ada lagi perselisihan terkait kepastian investor asing berinvestasi dalam sejumlah sektor. ”Seharusnya tidak ada dispute karena ini sudah masuk dalam daftar investasi," katanya.

Menurut dia, sedikitnya 19 investor luar negeri ingin berinvestasi kembali di Indonesia. Investor di China dan Vietnam ingin hengkang terkait pengurangan subsidi di negara tersebut.

Luther Kembaren

Wednesday, June 18, 2008

Republika Online : http://www.republika.co.id

Republika Online : http://www.republika.co.id

Rabu, 30 Januari 2008

LAYANAN FIRST MEDIA
Janji tak Ditepati, Konsumen Bosan Menunggu
Oleh :

Sudah lama saya mendambakan sambungan internet yang harganya terjangkau kantong saya sebagai PNS. Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi betul-betul untuk memanfaatkan layanan ini untuk berbagai keperluan mencari informasi, mempermudah pekerjaan kantor, dan menambah pengetahuan bagi saya dan keluarga. Karena itu, setelah mempertimbangkan berbagai hal termasuk pertimbangan ekonomi, saya putuskan berlangganan FastNet, layanan Internet dari First Media (FM).

Sekitar awal Januari 2008, saya mengirimkan email ke FM, kemudian saya lanjutkan dengan menelpon langsung dan dilayani oleh staf di sana. Saya diminta menunggu karena sambungan jaringan di lokasi rumah saya belum aktif. Padahal, tetangga saya di komplek sudah menggunakan kabel serat optik FM yang lewat di depan rumah kami. Seminggu kemudian saya menelpon lagi ke FM agar permohonan saya diperhatikan. Jawaban yang sama saya terima, yakni agar menunggu saja.

Pada hari Jumat 25 Januari 2008, saat sedang menyetir ke Bandung, saya mendapat telepon dari FM yang menanyakan apakah saya bisa menunggu petugas pemasangan pada hari Minggu tanggal 27 Januari 2008. Saya jawab bisa dan dijanjikan akan dipasang antara jam 10.00 s/d 12.30 WIB. Dengan mengorbankan berbagai acara keluarga, termasuk mempersingkat kunjungan ke Bandung, pada hari Sabtu (26/1) saya kembali ke Jakarta.

Namun, hari Minggu, sampai jam 12.30 WIB, petugas FM tidak juga datang. Saya telepon ke FM. Seorang petugas menerima dengan baik dan saya menjelaskan perihal petugas FM yang belum juga datang. Saya diminta menunggu. Sejam berlalu, saya kembali menelepon yang dijawab oleh petugas lain. Petugas ini mengatakan jika alamatnya tidak tepat maka besar kemungkinan tidak bisa terpasang hari itu juga.

Saya mulai tidak sabar dan minta disambungkan dengan duty manager, namun telepon terputus. Saya telepon lagi, kali ini petugas yang menerima menyanggupi untuk memanggil manajer untuk mencari pemecahan permasalahan. Namun, kemudian ia memberitahukan bahwa sang manajer sedang on-line. Saya akhirnya memberikan nomor telepon rumah dan HP agar saya dihubungi oleh sang manajer. Saya sempat menelpon lagi dan meminta petugas yang menerima agar mengingatkan sang manajer.

Hingga malam pukul 21.00 tidak ada telepon dari manajer FM, apalagi petugas yang ingin memasang internet. Total, saya habiskan waktu dari jam 10.00 pagi hingga 21.00 malam hanya menunggu petugas dengan mengorbankan berbagai urusan keluarga. Beginilah nasib konsumen di Indonesia.

Eddy Satriya
Jl. Lapangan Banteng Timur 2-4 Jakarta Pusat 10710







































Republika Online : http://www.republika.co.id

Republika Online : http://www.republika.co.id

for my eyes only!

Senin, 16 Juni 2008

Pelayanan Birokratis Sharp



Sekitar dua tahun lalu saya membeli kulkas merk Sharp, model SJ-47L-A2S dengan nomor seri Y 00902 di pusat perkulakan Makro Ciputat dengan harga Rp 6 juta-an. Bulan Mei 2008, kulkas tersebut rusak, ditandai dengan pendinginan yang memburuk dan mencairnya es di freezer. Kondisi ini kami laporkan via telepon ke kantor Sharp Fatmawati pada 27 Mei 2008 dan juga melalui email ke pusat pelayanan yang tersedia di website Sharp.

Pada 31 Mei, seorang teknisi Sharp dari kantor pelayanan Depok datang dan memeriksa kerusakan. Menurut dia, kerusakan ada pada kompresor. Karena masih dalam kondisi garansi (kurang dari 36 bulan) saya tak terlalu khawatir dan minta segera diperbaiki. Tapi apa lacur, teknisi melaporkan bahwa stok kompresor sedang kosong. Kami diminta menelpon ke pusat atau cabang Fatmawati demi mempercepat pengiriman kompresor.

Maka, sejak awal Juni, saya dan istri bergantian menelepon dan diterima oleh beberapa petugas. Berbagai pertanyaan standar yang sama dan melelahkan ditanyakan kembali, lalu dijanjikan akan diproses. Namun tiada berita. Saya mulai senang ketika pada 6 atau 7 Juni mendapat telepon dari pusat Sharp yang menginformasikan bahwa kompresor sudah ada dan akan dikirim pada hari Senin (9 Juni).

Kemudian, saya mendapat kabar bahwa kulkas baru akan diperbaiki jika membayar Rp 900 ribu karena kartu garansi kami tidak disertai kwitansi atau bukti pembelian. Ketika saya komplain, petugas Sharp menyatakan sudah prosedurnya demikian.

Maka, kami mencoba mencari data pembelian ke Makro Ciputat dan dilayani dengan baik oleh petugas. Namun sayang, data pembelian lebih dari setahun lalu sudah tidak ada. Saya lalu dibantu oleh seorang sales Sharp di Makro. Via telepon ketika di Makro, petugas Sharp pusat tetap ngotot meminta kwitansi dan tanggal pembelian meski sudah dijelaskan bahwa tanggal persis pembelian tidak terlacak lagi di Makro.

Saya pasrah, saya lalai tidak menyimpan bon belanja sebagaimana biasanya. Sementara kulkas saya dalam kondisi sedang diperbaiki oleh teknisi yang telah mencopot beberapa baut dan bagian atas freezer yang kemudian ditinggalkan begitu saja menunggu kompresor.

Mengapa urusan pelayanan di perusahaan ini menjadi lebih birokratis, sementara masalah tidak pernah diselesaikan dengan mendatangi konsumen? Apakah kartu garansi asli saja belum cukup? Mengapa susah sekali menjadi konsumen Sharp?

E Satriya
Komplek Bappenas A-130
Sawangan, Depok.

Thursday, March 20, 2008